Selasa, 03 Agustus 2010

MANUSIA DALAM PRESPEKTIF ISLAM

Dalam pergulatan pemikiran tentang manusia dari zaman ke zaman, banyak ditemukan konsep yang mempersepsikan tentang manusia. Mulai dari persepsi filosofis hingga ilmu pengetahuan yang spesifik. Namun apa yang digambarkan oleh ilmu pengetahuan hanya sebatas pada sisi pandang yang menjadi obyek formalnya, tidak menggambarkan sosok makhluk manusia secara utuh.Ilmu alam mereduksi hakikat manusia menjadi benda yang terdiri dari susunan molekul-molekul saja dimana aktifitas spiritual merupakan hasil dari aktifitas syaraf dan kelenjar. Ilmu humaniora khususnya ilmu sosial, terjebak pada perdebatan yang dikotomis individualisme dan sosialisme yang kemudian berujung pada dua ideology besar dunia, liberalisme dan sosialisme. Liberalisme melahirkan kapitalisme dan sosialisme melahirkan komunisme.
Secara harfiah, alqur’an menjabarkan proses pencipataan manusia yang mengandung persepsi bahwa manusia memiliki dua sisi dan dua dimensi, dimana manausia dalam entitasnya terdiri dari dua substansi, yaitu materi dan spirit atau jasad dan ruh. Jasad atau tubuh fisik adalah materi yang mememiliki bentuk, kualitas dan kuantitas.
“Dan sesungguhnya telah Aku ciptakan manusia dari sari pati yang berasal dari tanah. Kemudian sari pati itu kami jadikan air mani. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah. Lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging. Lalu segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang. Lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging, kemudian kami jadikan ia makhluk lain. Maka maha suci Allah pencipta terbaik.” (Al-mu’minun;12-14).
Saripati tanah adalah materi dan begitu pula proses menjadi atau perubahan bentuk adalah sifat yang tetap dari materi. Substansi lain dari manusia adalah ruh (jiwa). Ruh adalah being spiritually (wujud spritual).
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ruh (ciptaan)Nya, dan Dia menjadikan kamu penglihatan dan pendengaran”.
Ruh adalah being spiritually (wujud spritual) yang tidak terdeskripsikan bentuk dan kulitasnya.
“Mereka bentanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah ruh itu urusan Tuhanmu dan kamu tidak diberikan pengetahuan kecuali sedikit.” (Al-Isra’;85).
Sebagai makhluk dua dimensi, maka kebutuhan manusiapun mencakup dua aspek, yakni material dan spiritual yang keduanya sama pentingnya bagi kelangsungan hidup manusia. Secara material, manusia membutuhkan sandang, pangan dan papan. Dan dalam hal spritual manusia membutuhkan cinta, rasa aman, kebebasan penghargaan dan lain sebagainya
Begitu pula dalam beraktifitaspun meliputi dua aspek. Aktifitas material seperti menggerakkan anggota tubuh. Dan aktifitas spritual seperti berfikir dan merasa.
Materi dan spirit dalam diri manusia adalah jasad dan ruh yang memiliki relasi bersifat organik.
Di samping itu eksistensi manusia di tengah lingkungan dan alam sekitarnya adalah makhluk yang hidup dalam dua dimensi; dimensi individual dan dan dimensi sosial. Secara individual, manusia otonom, karena manusia memiliki kehendak bebas dan karena itu manusia adalah pribadi yang dalam dirinya melekat hak dan dan tanggung jawab. “setiap diri bertanggung jawab pada apa yang diperbuatnya.” (Al-Mudastsir;38).
Selain itu manusia jauga mahluk sosial, dimana dia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari lingkungannya karena memiliki kecenderungan yang bersifat fitriah terhadap lingkungannya. Sifat fitriah ini yang membuat manusia tidak dapat hidup sendiri. Hampir semua pemenuhan kebutuhannya mengharuskan interaksi dan sosialisasi dengan lingkungan.
“Wahai manusia, susungguhnya telah Kami ciptakan engkau dari laki-laki dan perempuan dan telah Kami jadikan engkau bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal.” (Al-Hujurat;13).
Dengan kata lain manusia adalah mahluk material-spritual yang berdimensi individual-sosial. Tidak penting memperdebatkan sisi dan dimensi apa yang harus diutamakan, tetapi yang dilakukan adalah membangun relasi yang harmonis dan memposisikan secara proporsional diantara keduanya. Karena perdebatan itu akan menyebabkan dikotomi yang pada level ekstrim akan saling menegasikan atara keduanya. Seperti apa yang dilakukan oleh ideologi-ideologi besar dunia.
Liberalisme bertopang pada individualisme yang meletakkan supremasi individu diatas masyarakat, dimana anggota-anggota masyarakatnya terdiri dari manusia-manusia yang egois dan tidak memiliki kepedulian terhadap sesama. Hubungan sosial hanya didasarkan pada motif kepentingan dan keuntungan semata.
Komunisme meletakkan masyarakat diatas individu, dimana hak-hak individu dipasung. Manusia yang memiliki kehendak bebas dan jati diri, memiliki martabat yang tinggi dan menguasai alam menjadi permainan dialektika historis yang determenistik, menjadi mahluk tanpa kehendak dalam materialisme yang menguasai eksistensi manusia.
Keduanya (liberalisme dan komunisme) sama-sama berpijak pada materialisme dengan menegasika spritualisme. Cinta yang menjadi dasar dalam hubungan sosial digantkan dengan kepentingan dan keuntungan. Pemuasan nafsu menjadi filsafat hidup dengan cita-cita moral tertinggi kemewahan dan kenikmatan inderawi.

baca selengkapnya......

Rabu, 28 Juli 2010

SELAMAT DATANG

Selamat datang di blog pribadi fauzan alqash, terima kasih atas kunjungan anda. blog ini berisi pikiran2 liar tentang pemahaman Islam Rahmatan lil-alamin, yang moderat, toleran dan inklusive terbuka pada nilai-nilai lokal. khususnya Islam dalam kontek keindonesiaan, pribumisasi islam dalam konteks keindonesiaan. Islam ala Indonesia. Islam Indonesia.
Islam Indonesia merupakan usaha dialog antara islam sebagai agama dengan budaya lokal nusantara.
Silahkan berikan komentar. Dan mari kita diskusi.

baca selengkapnya......

ISLAM INDONESIA


Islam Indonesia atau Pribumisasi islam adalah upaya mendialogkan islam dengan budaya lokal tanpa menghilangkan identitas islam sebagai agama dan budaya lokal sebagai tempat pijaknya. Sebab arabisme atau mengikuti keseluruhan budaya timur tengah adalah tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu arabismen atau kearab-araban belum tentu cocok dengan dengan masyarakat Indonesia. Secara geografis dan budaya Indonesia berbeda dengan arab.
Pribumisasi islam adalah upaya melestarikan budaya setempat –yang baik dan relevan dengan ajaran islam- itu tidak dihilangkan. Tetapi dibiarkan subur dan terus berkembang. Pribumisasi islam tidak menjadikan agama dan budaya saling mengalahkan.. melainkan berusaha mempertemukan. Sehingga tidak ada pertentagan antar agama dan budaya.
Dengan memberikan peluang bagi keanekaragaman penafsiran dan interpretasi yang berbeda-beda dalam memperaktekannya dalam kehidupan, wajah islam di setiap wilayah akan berbeda-beda. Sehingga islam tidak lagi dipandang secara tunggal wajah timur tengan, melainkan majemuk. Dan tidak ada lagi anggapan bahwa islam di timur-tengah sebagai Islam yang paling murni dan benar. Karena Islam sebagai agama mengalami proses yang menyejarah dalam ruang dan waktu dimana dialog dan dialektika terus berlangsung sampai akhir zaman.
Keragaman budaya dari suku dan bangsa adalah sunnatullah (hukum/ketentuan Allah). "seusungguhnya telah Kami ciptakan kamu semua dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulya diantara kamu adalah yang paling bertakwa." (QS.49:3). Jadi keragaman suku-bangsa berikut budayanya aadalah sunnatullah yang harus dikaji dan dikembangkan kearah peradaban yang bersendikan akhlaqul-karimah (takwa)
Para wali dan wali songo dalam dakwahnya di wilayah nusantara pada abad ke 15 dan 16 di pulau jawa telah berhasil memasukkan nilai2 lokal dalam islam yang khas keindonesiaan. Kretifitas para wali ini melahirkan gugusan baru bagi pemikiran dan perkembangan islam Indonesia yang tidak secara harfiah meniru islam di arab secara keseluruhan.. misalnya yang dilakukan sunan bonang dengan menggubah gamelan jawa yang saat itu kental dengan nilai hindu menjadi bernuansa dzikir yang mendorong kecintaan kepada akhirat. Tembang tombok ati adalah salah satu karya seni sunan bonang. Dalam pentas pewayangan sunan bonang mengubah lakon memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.
Begitu pula yang dilakukan oleh sunan kalijaga yang memilih seni dan budaya sebagai sarana untuk berdakwah. Sunan kalijaga berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya dengan purifikasi.
Sunan kalijaga menggunakan seni ukir, wayang, gamelan dan seni suara suluk sebagai sarana berdakwah. Dialah pencipata baju takwa (koko), perayaan skaten, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang petruk jadi raja, dan lanscap pusat kota berupa kratin, alun2 dengan dua beringin serta masjid yang diyakini sebagai karya sunan kalijaga. Contoh lainnya adalah apa yang dilakukan oleh sunan kudus. Beliau mendekati masyarakat kudus dengan memanfaatkan simbol2 hindu dan budha. Hal ini terlihat dari asitektur masjid kudus. Dimana bentuk menara, pancuran padasan wudhu' yang melambangkan delapan jalan budha. Semua itu adalah wujud kompromi dan toleransi terhadap budaya lokal.
Bentuk keberislaman dengan mengadopsi budaya arab secara total yang dilakukan oleh wahabi pada fase permulaan merambah ke wilayah nusantara pada tahun 1803-1833 tepatnya di minangkabau, dan dalam menyebarkan ajaran sangat menggangu dan meresahkan masyarakat setempat. Mereka terlalu mudah mengkafirkan memurtadkan serta meuduh bid'ah yang sesat pada setiap orang yang tidak sepaham dengan ajarannya. Hal ini kemudian mengakibatkan gesekan yang mengarah pada peperangan antara pengukut faham wahabi dengan masyarakat setempat (penganut madzhab syafi'I berhaluan ahlussunnah wal-jamaah). Begitu pula di pulau jawa penyebaran faham wahabi di pulau jawa dengan serangan TBC (takhayyul, bid'ah dan churafat). Wahabisme, secara langsung atau tidak, telah merusak warna keaslian bangsa yang pada hakikatnya adalah sunnatullah.
Pada tahap berikutnya, ketika faham wahabi berkembang kearah sistem sosial politik dan menjadi fundamentalisme ideologi wahabian, maududian dan quthubian mengikis ekspresi sosial politik islam Indonesia yang ramah, toleran dan moderat. Bentuk keislaman yang tidak dogmatis, nonformalistik dan mengutamakan substansi sedikit terdesak oleh kehendak formalisasi syariat islam. Term "pemberlakuan syariat islam" lalu direduksi maknanya menjadi "formalisasi syariat islam".
wahabisme, maududisme dan quthubisme menganggap ajaran merekalah yang paling benar dan paling otentik, sesuai dengan keberislaman salafusshalih yang dalam sejarah salafusshalih mereka fahami secara tektual sehingga bukan hanya menutup perbedaan tafsir diantara kaum muslimin, tetapi juga menutup dialog antara islam sebagai agama dengan budaya lokal. Karena itu ekspresi (tradisi) keberislamana masyarakat Indonesia dicerca sebagai "kejahilan modern" yang jauh dari kebenaran dan kemurnian islam, yang penuh dengan TBC (takhayyul, bid'ah dan churafat).
Menurut mereka islam yang dicontohkan oleh salaf-as-shalih merupakan bentuk keberagamaan yang paling benar dan ideal. Kemurnian Islam ketika dicampur dengan unsur dari luar akan hilang. Karena itu kekhasan ekspresi (tradisi) keberislaman masyarakat Indonesia dicerca sebagai "kejahilan modern" yang jauh dari yang jauh dari islam yang benar dan asli.
Padahal tidak semua bid'ah itu sesat. Rasulullah SAW ketika mengutus mu'adz bin jabal untuk berdakwah, Beliau bertanya kepada mu'adz, tentang bagaimana memutuskan masalah yang tidak ditemukan dalam alqur'an dan hadits. Sahabat mua'adz menjawab; "aku akan berijtihad dengan pemikiranku". Rasul membenarkan jawaban itu. Begitu pula di masa menjelang wafatnya Rasul, dimana seorang sahabat mengadu kepada Beliau tentang kondisi akhir zaman yang tentu akan banyak persoalan umat yang tidak terjadi pada masa Rasul hidup, sehingga tidak ditemukan nash dalam alqur'an dan hadits. Rasul menjawab dengan perintah ijtihad.
Dalam kitab dalilul-falahien dijelaskan, ada bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah sayyi'ah (buruk). Bid'ah hasanah adalah bid'ah yang tidak bertentangan dengan alqur'an dan hadits walaupun tidak ada nash qath'iynya. Seperti peringatan maulid nabi, isra' mi'raj, tahlilan, yasinan dan lain sebagainya. Sedangkan bid'ah sayyi'ah adalah bid'ah yang bertentangan dengan alqur' dan sunnah, bid'ah yang sesat. Karena itu dapat difahami pula dari zaman ke zaman selalu muncul mufassir yang mengupayakan aktualisasi pesan-pesan alqur'an.dan tatanan tradisi keislaman yang tidak mengenal batas dan waktu dimana antara mufassirpun terdapat banyak perbedaan. Begitu pula para fuqaha', dalam istinbath ahkam dengan ijtihad disamping mengacu pada kemahslahatan umat dan kemanusiaan, juga perlu memperhatikan situasi dan kondisi obyek lingkungan yang dituju baik, kultur, geografis, maupun ekologis. Seperti apa yang telah dilakukan oleh imam Syafii, beliau mengeluarkan fatwa yang berbeda ketika berada di baghdad (qaul qadim) dengan fatwa ketika beliau berada di mesir (qaul jadid).
Begitu pula metode dan proses ijtihad, antara ulama' berbeda-beda, sesuai dengan kondisi ruang dan waktu yang melingkupinya. Imam Hanafi mengacu pada Alqur'an, hadits shahih dalam pandangan beliau, ima' sahabat, qiyas dan istihsan. Imam Malik mengacu pada Alqur'an, hadits shahih dalam pandangan beliau, amalan para ulama' madinah ketika itu dan mashalihul mursalah. Imam syafi'I mengacu pada Alqur'an, hadits shahih dalam pandangan beliau, ijma' para mujtahid dan qiyas. Imam Hambali mengacu pada Alqur'an, hadits termasuk mursal dan dla'if, ijma' para sahabat dan qiyas. Dan di bidang tasawuf terdapat banyak amalan yang bemacam-macam dan berbeda-beda.
Islam di asia tenggara termasuk di Indonesia memiliki konsep dan bentuk politik yang berbeda dari wilayah negeri musilim di Afrika utara, semenanjung arab maupun asia selatan. Islam di wilayah ini memiliki karakter yang khas. Yaitu cenderung toleran, moderat dan inkusif serta lebih bersifat kultural dan tidak politis struktural. Kekhasan terbentuk melalui proses sosiologis yang panjang, sehingga islam di wilayah asia tenggara mudah beradabtasi dengan tuntutan dan kondisi lokal, dengan bangunan sosial politik tidak tunggal. Berbagai perubahan kekuasaan yang diikuti dengan perubahan posisi islam di dalamnya mewarnai sejarah kerajaan-kerajaan islam di nusantara. Hal inilah yang membuat lebih luwes dalam memposisikan islam di wilayah kenegaraan. Maka tidak heran meskipun melalui berbagai ketegangan pada masa kemerdekaan, masalah posisi islam dan Negara bisa terselesaikan. Islam dapat berdampingan dengan konsep Negara bangsa yang merupakan konsep dari barat.

baca selengkapnya......